Senin, 25 Januari 2010

dAMPAK

Teknologi Informasi (TI)
Teknologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat pesat, tak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap seluruh proses globalisasi ini. Mulai dari wahana TI yang paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga internet dan telepon gengam dengan protokol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi mengalir dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang.
Perubahan informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Perubahan harga saham sebuah perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar yang ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka. Demikian juga peragaan busana di Paris, yang pada waktu hampir bersamaan bisa disaksikan dari Gorontalo, Sulawesi.
TI telah mengubah wajah ekonomi konvensional yang lambat dan mengandalkan interaksi sumber daya fisik secara lokal menjadi ekonomi digital yang serba cepat dan mengandalkan interaksi sumber daya informasi secara global. Peran Internet tidak bisa dipungkiri dalam hal penyediaan informasi global ini sehingga dalam derajat tertentu, TI disamaratakan dengan Internet. Internet sendiri memang fenomenal kemunculannya sebagai salah satu tiang pancang penanda kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Internet menghilangkan semua batas-batas fisik yang memisahkan manusia dan menyatukannya dalam dunia baru, yaitu dunia “maya”. Setara dengan perkembangan perangkat keras komputer, khususnya mikro-prosesor, dan infrastruktur komunikasi, TI di internet berkembang dengan kecepatan yang sukar dibayangkan. Konsep perdagangan elektronik melalui internet, yang dikenal dengan nama e-Commerce yang lahir karena perkawinan TI dengan globalisasi ekonomi belum lagi genap berusia lima tahun dikenal –dari fakta bahwa sebenarnya sudah ada sekitar 20 tahun yang lalu—ketika sudah harus merelakan dirinya digilas dengan konsepsi e-Business yang lebih canggih. Jika e-Commerce “hanya” memungkinkan seseorang bertransaksi jual beli melalui internet dan melakukan pembayaran dengan kartu kreditnya secara on-line, atau memungkinkan seorang ibu rumah tangga memprogram lemari-esnya untuk melakukan pemesanan saribuah secara otomatis jika stok yang disimpan di kulkas itu habis dan membayar berbagai tagihan rumah tangganya melalui instruksi pada bank yang dikirim dengan menekan beberapa tombol pada telepon genggamnya, maka dengan e-Business, transaksi ekspor impor antar negara lengkap dengan pembukaan LC dan model cicilan pembayarannya juga bisa dilakukan dengan wahana dan media yang sama.
Karena itu, wajar jika pemerintah negara-negara Asia, negara yang dianggap kurang maju, kini mulai secara resmi mendukung perkembangan TI setelah sekian lama diam-kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perkembangan teknologi yang demikian cepat ini. Bagi Asia, yang saat ini sedang bekerja keras mengejar ketinggalan dari negara-negara maju dan pada saat yang sama mengalami perubahan sosial politik, keberadaan internet khususnya merupakan masalah yang pelik. Lebih buruk lagi, krisis ekonomi yang dialami Asia pada akhir tahun 90an menunda perkembangan TI di saat AS dan negara-negara Eropa sedang berkembang pesat dalam penggunaan teknologi itu.
Pertemuan Asian Regional Conference of the Global Information Infrastructure Commission (GIIC) di Manila pada bulan Juli 2000 menghasilkan rencana untuk membangun jaringan komunikasi, menyediakan perangkat pengakses informasi dari internet untuk masyarakat, menyusun framework penggunaan TI, membangun jaringan online-pemerintah, serta mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan daya saing Asia. Namun memang masih ada hambatan, terutama antara lain sumber daya yang terbatas, masih kakunya sistem pemerintahan, serta perbedaan sosial politik di antara negara-negara yang kini harus bekerjasama –yang bila gagal diatasi, akan tetap menempatkan Asia di pihak yang merugi. Salah satu tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah Asia yang disepakati dalam pertemuan GIIC itu adalah mempersiapkan hukum mengenai transaksi, kejahatan internet, merek dagang, hak cipta dan masalah lain.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Tabloid Kontan On-line tanggal 9 Oktober 2000 yang mengutip IDC (Information Data Corporation), dana yang sudah dibelanjakan untuk kepentingan TI di Indonesia cukup besar. Tahun 2000 ini diperkirakan US$ 772,9 juta, naik dari US$ 638,4 juta tahun lalu. Jumlah ini belum termasuk investasi dotcom yang sempat bergairah obor-blarak dalam dua tahun terakhir. Dari US$ 772,9 juta itu, sebagian besar (57,7%) dibelanjakan untuk perangkat keras seperti PC dan notebook. Sebagian yang lain (14,4%) dibelanjakan untuk perangkat lunak. Seharusnya, angka untuk perangkat lunak ini jauh lebih besar daripada untuk perangkat kerasnya. Hal ini diduga keras karena di Indonesia tingkat pembajakan masih di atas 90%. Sementara dari 17 sektor yang membelanjakan uang untuk TI tadi, sektor yang paling banyak mengeluarkan uang adalah komunikasi & media (19,3%), diikuti oleh discreet manufacturing (16,9%), pemerintah (12,4%), dan perbankan (11,8%).
TI yang Mendorong Perubahan Sosial?
Sampai dengan bulan Juni 1999, masih menurut sumber dari Kontan On-line, dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta jiwa, jumlah personal computer yang ada di negeri ini hanya sekitar 2 juta unit. Itu berarti hanya 0,95% dari jumlah penduduk. Angka ini masih sangat kecil jika dijadikan pijakan konsepsi utopis TI yang mampu mendorong terjadinya perubahan sosial.
Namun, angka sekecil itu yang diperkuat dengan TI, khususnya pemanfaatan jaringan internet, bisa cukup menimbulkan dilema bagi pemerintah, lebih khusus lagi bagi negara yang memiliki peraturan ketat. Di jaman Orde Baru berkuasa dulu, TI disikapi dengan penuh kebingungan, seperti misalnya dalam kasus penggerebekan salah satu Internet Service Provider (ISP) di Jakarta saat “Kudatuli” –kerusuhan dua puluh tujuh juli—yang menghebohkan itu. Kasus ini layaknya menghadapkan kemajuan TI dengan alat perang dan kekuasaan. Dan seperti biasanya, senjata lebih berkuasa daripada teknologi. Namun, kekuatan TI yang ditekan itu kemudian tampil “jumawa” dalam episode jatuhnya Orde Baru. Konon, dipercaya bahwa gerakan mahasiswa dan bantuan logistiknya dikoordinasikan dengan memanfaatkan kecanggihan TI ini. Bahkan, komunikasi militer pun disadap dan semua sandi militer diterjemahkan oleh para aktivis dan dibagikan lewat pager, telepon gengam dan email pada para koordinator lapangan untuk mengantisipasi blokade militer yang menyapu Jakarta dan kota-kota lainnya saat itu, 1998 dan 1999. TI, secara langsung atau tidak, berkontribusi atas terjadinya suatu perubahan sosial yang bermakna di Indonesia yaitu jatuhnya rejim militeristik yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya.
Tapi, entah dimana salahnya, pemerintah baru yang terpilih secara relatif demokratis pasca rejim Orde Baru ini juga gagap menanggapi kemajuan TI. Keppres 96/2000 yang garis besarnya berisi larangan masuknya investor asing di bidang industri multimedia di Indonesia, menunjukkan dengan jelas kebingungan pemerintah dalam merespon perkembangan bisnis multimedia, yang tentu ada dalam mainstream TI. Dengan Kepres itu, tersirat inferioritas yang luar biasa dalam diri pemerintah. Pemerintah beranggapan bahwa proteksi itu diberikan dengan asumsi tidak mungkin pemain-pemain lokal mampu bersaing dengan investor asing dalam dunia TI. Padahal, justru banyak pemain lokal yang berteriak dan menentang keppres ini. Satu-satunya pemain lokal yang terlihat paling getol mendukung dikeluarkannya keppres tersebut hanyalah PT. Telkom. Kebingungan ini juga terlihat jelas dalam perumusan UU Telekomunikasi beserta PP yang menyertainya. Dalam PP No 52/2000 misalnya, apabila seseorang ingin mendirikan warung internet, untuk mengurus ijin pendirian warnet, harus meminta ijin yang ditandatangani oleh menteri (!). Jelas, bahwa kebijakan pemerintah saat ini menimbulkan semakin banyak masalah yang timbul dalam pengembangan TI.
Dalam hal politik, meningkatnya tribalisme saat ini mungkin bisa dianggap terkait dengan kemajuan TI karena memperjelas banyak hal sehingga setiap orang dapat mengetahui peristiwa yang terjadi di mana saja, yang pada masa lalu tidak terlihat –tapi bukannya tidak ada. Demokrasi melanda dunia dan dunia menerapkan demokrasi itu melalui sistem telekomunikasi global. Dengan semakin banyaknya informasi yang diterima masyarakat, pemerintah harus mulai berubah ke arah sistem dimana peraturan dan hukum didasarkan bukan pada kemauan pemerintah, melainkan pada legitimasi masyarakat. Konsep Negara Kesatuan misalnya, jika dilihat dari kacamata TI dan globalisasi secara paradoks bisa jadi sudah punah karena negara yang efektif justru memecah dirinya menjadi bagian lebih kecil dan lebih efisien. Kenichi Ohmae dalam bukunya yang terkenenal The End of the Nation State, melihat dengan jelas bahwa gagasan “pemerintah pusat adalah bagian yang terpenting dari sebuah pemerintahan” sudah saatnya ditinggalkan. Dunia dalam kacamata TI saat ini adalah dunia tentang pribadi orang per orang, bukan negara (state). Dunia yang saat ini, menurut pencetus ide “The Third Way” Anthony Giddens dengan teori strukturasi modernisnya, sedang bermetamorfosa dari swapraja menuju swakelola.

Sabtu, 16 Januari 2010

makalah

tugas makalah tentang
pemanfaatan teknologi informasi bidang pemerintahan

oleh: Rivon ( 0901093024 )



KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya oleh berkat-Nya tugas makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Kami menyadari sepenuhnya bahwa mungkin tugas kami ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mohon maaf apabila dalam penyusunannya terdapat banyak kesalahan.
Selanjutnya dalam kesempatan ini perkenankan kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini. Demikian kami sampaikan, apabila ada kesalahan kami harap dapat dimaklumi sekian dan terima kasih.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
1.2Tujuan Penulisan
1.3Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1E-Government Dan Kesiapan Indonesia
2.2E-Participation Terhadap E-Government
2.3Dampak E-Government
2.4Dukungan Teknologi Informasi Untuk
Pelayanan Publik
2.5Insprastruktur Ti
2.6Peran Ti Dalam Good Government
BAB III PENUTUP
Analisa Dan Kesimpulan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Ditemukannya sejuhlam identitas ganda yang dimiliki sejumlah teroris dan anggota masyarakat yang sempat diperiksa kepolisian, pemalsuan paspor oleh para penjahat kerah putih, serta kasus surat “peringatan” dari Direktorat Pajak belum lama ini yang ternyata banyak salah sasaran memiliki benang merah yang sama. Hal-hal tersebut menghangatkan kembali diskursus tentang buruknya tata kependudukan di Indonesia.
Berbagai anomali administrasi itu mengindikasikan tidak adanya kesungguhan dalam merapikan data kependudukan yang sesungguhnya sangat penting. Data yang ada ternyata tidak akurat, tidak relevan, dan tidak diintegrasikan oleh instansi-instansi terkait. Akibatnya, pada level pemerintahan, nyaris tidak ada manfaat sama sekali yang bisa diperoleh dari data kependudukan tersebut. Pada saat yang sama masyarakat sudah kadung memandang sinis bahwa surat-surat kependudukan bahkan yang paling mendasar sekalipun (Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, dan Surat Izin Mengemudi) dianggap sebagai sesuatu yang kegunanaannya tidak lebih dari “sekedar jaga-jaga saat ada insfeksi”.
Problem-problem diatas, dapat teratasi lewat pembangunan tata pemerintahan, termasuk kependudukan, berbasis elektronik (electronic based government, e-government). Secara pragmatis, e-government dapat meningkatkan efisiensi sekaligus menekan praktek penyimpangan administrasi negara. Lebih mendasar lagi, dari kaca mata politik demokrasi, melalui tiga kerangka kerjanya, yang terdiri atas e-government consultation, dan e-decision-making, komitmen dan keberhasilan pemerintah suatu negara, dalam menyelenggarakan e-government dapat dijadikan indikator kesediaan pemerintah tersebut dalam berbagi informas dan pengetahuan dengan warganya.
Secara lebih mendalam departemen instansi pemerintah dalam mempersiapkan visi dan misi kebijaka teknologi informasi, lebih melihat pada faktor equity (menjadikan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi penggunaan umum). Dibandingkan dengan keempat faktor yang lainnya yaitu demokratisasi, transparansi, akuntabilitas dan globalisasi. Untuk mencapai target penerapan teknologi informasi yang efektif perlu diadakan komputerisasi pemerintahan atau e-government dan sumber daya manusia dan pendidikan. Alasannya karena penerapan teknologi informasi akan menjadi optimal apabila Am/pengetahuan para pemakai atau pengguna jasa teknologi benar-benar memahami teknologi sehingga sasaran penerapan teknologi informasi tercapai.
Untuk mencapai pada tingkat e-government maka langkah pertama yang menjadi sasaran jangka pendek adalah :
1.Perlu adanya persiapan sumber daya manusia dan teknologi informasi.
2.Pelayanan informasi publik.
3.Pengadaan teknologi informasi
1.2Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk :
1.Para pembaca lebih memahami tentang teknologi informasi.
2.Pembaca mengetyahui manfaat teknologi informasi
3.Pembaca mengetahui sejauh mana tingkat kemajuan pemerintah Indonesia dalam bidang teknologi informasi.
1.3Sistematika Penulisan
Dalam membuat tulisan ini kelompok kami memakai metode studi kepustakaan dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan serta mencoba mengakses dari berbagai situs internet. Adapun kerangka penulisan ini terdiri dari :
1.Bab I Pendahuluan
2.Bab II Isi
3.Bab III Analisa dan Kesimpulan
BAB II
ISI
2.1E-Government dan Kesiapan Indonesia
Kendati e-Government diyakini andal, penelitian yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap 21 instansi pelayanan publik nasional di 919 negara (pada 2003) menemukan bahwa pembangunan e-government bukanlah perkara penyediaan perangkat teknologi semata. Masalah yang lebih kompleks justru berkutata pada penyiapan sumber daya manusia, yakni para pengguna (anggota masyarakat) dan penyedia sekaligus pengolah informasi (instansi pelayanan publik).
Dari sisi pengguna syarat paling mendasar bagi keberhasilan teknologi informasi, komunikasi yang signifikan dikalangan masyarakat. Lebih luas lagi information Cociety Comission (2003) menyebutkan bahwa kesiapan e-government dapat diantimasi berdasarkan posisi atau suatu negara pada Human Development Index (HDU).
Menjadikan HDI sebagai dasar untuk mengukur kesiapan Indonesia dalam ber e-government tampaknya menghasilkan gambaran yang tidak begitu menggembirakan. Meskipun menunjukkan peningkatan pada sejumlah indikator kesejahteraan manusia, posisi Indonesia pada 2004, dibandingkan dengan 2003 hanya naik satu anak tangga ke peringkat 111 dari sekitar 170 yang diteliti. Ini berarti masih dibutuhkan upaya keras jangka panjang guna memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, sebagai persyaratan langsung bagi e-participation.
2.2E-Participation Terhadap E-Government
e-participation bermakna sebagai derajat keikutsertaan masyarakat dalam kedudukannya selaku subyek sekaligus objek e-government. Subyek dalam pengertian bahwa masyarakat merupakan pihak yang memiliki kesempatan dan inisiatif untuk mempengaruhi pemerintah dalam perumusan berbagai kebijakan publik. Dan obyek dengan makna bahwa kebijakan-kebijakan itu pada gilirannya akan dikenakan pada seluruh masyarakat juga.
Secara simultan e-government juga mengaharuskan adanya kesediaan dan kepastian generik aparat pelayanan publik dalam mengelola informasi demi kepentingan para satkeholder. Dimilikinya situs resmi oleh hampir semua instansi pemerintah pada kenyataannya tidak disertai oleh pengelolaan yang konsisten terhadap situs-situs tersebut. E-information berkualitas rendah akibat situs yang hanya berisikan informasi usang. Beragam masukan juga tidak ditanggapi dengan baik, dan segera yang menyebabkan e-consultation tidak berjalan dengan semestinya.
Saat e-information dan e-consultation tidak terealisasi, e-decision making lebih parah lagi. Situs tidak berfungsi optimal sebagai media interaktif antara masyarakat dan para pelayannya. Akibatnya manfaat situs-situs pelayanan publik itu terhadap proses demokratisasi pun sangat rendah karena tidak mendorong masyarakat untuk aktif urun rembuk dalam peningkatan kualitas pelayanan serta penyusunan dan perubahan kebijakan publik.
2.3Dampak E-Government
Keberadaan e-government akan berimbas pada dimensi sumber daya manusia disetiap pelayanan publik. Tidak tertutup kemungkinan akan meruyaknya kekhawatiran yang disebabkan oleh rasionalisasi jumlah karyawan. Karyawan yang dinilai tidak memiliki kesediaan dan kemampuan generik untuk menjalankan e-government akan berhadapan dengan dua resiko; diberhentikan (retrenchment) atau menjadi pelatihan dalam rangka membentuk kompetensi lunak (soft compentencies) dan keterampilan kerja serta mengintegrasikan diri kedalam struktur informasi yang baru.
Sementara kompetensi lunak berfokus pada mentalitas kerja, pelatihan keterampilan kerja dipusatkan pada bidang berteknologi informasi dan komunikasi, manajemen proyek, manajemen perubahan, serta kemampuan membangun kemitraan. Terkait dengan begitu pentingnya penyiapan para aparat pelayanan publik, Information Society Commision (2003) menegaskan, kepemimpinan memainkan peran sangat penting dalam menciptakan atmosfer positif bagi perubahan birokrasi kantor-kantor pemerintah. Dengan lompatan kuantum kearah implementasi e-government kita bisa berharap, tata pemerintahan dan kependudukan di Indonesia akan berlangsung lebih demokratis, efisien, dan bersih.
2.4Dukungan Teknologi Informasi Untuk Pelayanan Publik.
Saat ini informasi yang dapat diakses oleh publik masih amat terbatas sifatnya, berupa informasi umum mengenai departemen/institusi dan belum berupa informasi yang berkaitan dengan sistem prosedur atau tata cara yang berhubungan dengan pelayanan publik. Salah satu yang menyebabkan keterbatasan ini adalah tidak adanya acuan atau panduan di tingkat nasional, seperti yang diharapkan oleh sebagian besar departemen/institusi tersebut dalam bentuk suatu kebijakan yang jelas untuk menyebarkan informasi atau data secara umum kepada publik.
Di sisi lain sebagian besar departemen/institusi melihat belum mapannya dukungan infrastruktur dan kurangtnya ketersediaan sumber dana dan sumber daya manusia yang memadai sebagai beberapa kendala yang harus diatasi sebelum pelayanan publik dengan dukungan teknologi informasi dapat ditingkatkan.
Dari sisi dampak positif akan penerapan teknologi informasi dalam pelayanan publik, sebagian besar departemen/institusi lebih mengharapkan adanya peningkatan kerja organisasinya sendiri dalam bentuk meningkatnya pelayanan dan efisiensi dari birokrasi, walaupun sebagian sudah melihat adanya peningkatan dalam aspek transparansi birokrasi.
a.Pengembangan dan riset teknologi informasi
Kegiatan pengembangan yang banyak dilakukan oleh departemen/institusi pemerintah adalah pengembangan perangkat lunak. Sedangkan produk “lokal” yang sering mereka gunakan adalah masih sebatas jasa pelatihan.
Sebagian besar menganggap faktor dana sebagai penghambat utama dalam pengembangan ini.
Ke depan, mereka mengharapkan dukungan strategi, prioritas dan arah kebijakan riset dan strategi pengembangan tenaga ahli di bidang teknologi informasi sebagai bagian dari kebijakan nasional di bidang teknologi informasi untuk dapat meningkatkan jumlah dan mutu hasil riset di bidang teknologi informasi.
b.Manajemen dan evaluasi teknologi informasi
Sudah cukup banyak departemen/institusi pemerintah yang sadar akan perlunya suatu evaluasi investasi teknologi informasi sebagai bahan untuki membuat rencana ke depan. Namun, belum semuanya melihat dari kebutuhan evaluasi internal.
Kendala utama yang dirasakan menghambat evaluasi pemanfaatan teknologi adalah karena hal ini belum menjadi bagian atau keharusan dari investasi teknologi informasi.
Dalam melakukan evaluasi keberhasilan investasi teknologi informasi, maka departemen/institusi pemerintah menganggap kriteris yang paling adalah efeksifitas dan kualitas dalam pelayanan kemudian diikuti oleh produktivitas dan pelayanan organisasi serta pemanfaatan dan utilisasi teknologi informasi. Sementara faktor efisiensi dalam mengurangi biaya operasi dan penyelenggaraan dan pengelola korporat (organisasi perusahaan) yang efektif dan baik masih belum dilihat sebagai kritel yang penting untuk dievaluasi.
Sementara itu, hampir semua departemen/institusi pemerintah menganggap peran dan dukungan pimpinan (manajemen puncak) dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi sebagai faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan investasi di bidang teknologi informasi.
2.5Infrastruktur Teknologi Informasi
Kondisi perangkat keras, sebagian besar departemen/institusi pemerintah umumnya terdiri dari PC yang tampaknya telah terhubung dalam suatu jaringan lokal. Sebagian besar dari instansi ini telah memiliki hubungan ke internet melalui ISP namun demikian, interkoneksi ke internet ini masih sederhana, konfigurasinya hal ini terlihat dari kecilnya jumlah institusi yang menggunakan perangkat Network Security atau Network Management.
Dari sisi perangkat lunak, sebagian besar departemen/institusi pemerintah menggunakan aplikasi office automation seperti word processing, dll. Database management system dan aplikasi-aplikasi internet, seperti Web Publishing. Walaupun sebagian besar institusi telah menggunakan komputer untuk fungsi-fungsi yang umum ini, namun demikian masih ada institusi yang sama sekali belum memanfaatkannya.
Dari sisi pengembangan infrastruktur teknologi informasi departemen/institusi pemerintah masih banyak yang mendapatkan bantuan pihak luar dalam bentuk konsultasi pengembangan hal ini mungkin mengindikasikan masih belum memadainya kemampuan internal dalam merencanakan pengembangan infrastruktur teknologi informasi. Lebih lanjut, sebagian besar institusi menyatakan pola pengembangan infrastrukturnya dilakukan secara terencana. Walaupun demikian, cukup banyak pula yang menyatakan pola pengembangannya disesuaikan dengan kondisi keuangan departemen. Dalam hal pengelolaan infrastruktur tersebut, mereka cukup banyak yang bekerja sama dengan organisasi pusatnya tampaknya pola “sentralisasi” masih cukup kuat disini. Suatu bentuk penggunaan informasi secara bersama-sama telah mulai dilakukan, hal ini tampak dari jawaban cukup banyak departemen/institusi. Namun demikian, kerja sama ini sebagian besar menghadapi kendalam dalam bentuk integrasi data dan integrasi aplikasi. Salah satu penyebabnya kemungkinan adalah belum diterapkannya standarisasi.
Dari sisi kebutuhan infrastruktur teknologi informasi untuk jangka pendek, sebagian besar departemen/institusi merasakan kebutuhan akan aplikasi dan basis data sebagai kebutuhan utama diikuti oleh perangkat telekomunikasi dan akses jaringan komputer global/nasional serta integrasi dengan organisasi lain yang terkait. Sedangkan dari sisi proses/prosedurnya, yang perlu mendapatkan perhatian adalah panduan manajemen dan operasi.
a.Hukum dan isu nasional
Sebagian besar departemen/institusi pemerintah menyadari perlunya suatu kebijakan kerangka hukum secara nasional dan menyeluruh dengan pengaturan HAKI dan akses publik sebagai isu-isu menonjol yang dianggap masih kurang penanganannya.
Dari sisi cakupannya, kerangka hukum nasional dalam bidang teknologi informasi diharapkan mencakup keseluruhan aspek secara mendasar dan bukan secara persial seperti penyesuaian atau penambahan dari hukum yang telah ada.
Dari sisi regulasi, sebagian besar menganggap regulasi untuk melindungi hak cipta mengatasi sengketa dalam transaksi elektronis mendukung transaksi elektronis dan memberikan hak yang sama terhadap informasi sebagai bidang-bidang yang mendesak dan belum mendapat perhatian.
Dari sisi penerapan hukum dalam bidang teknologi informasi, pemerintah diharapkan untuk secepatnya melengkapi produk perangkat hukum baru yang mengatur teknologi informasi selain itu pemerintah juga diharapkan meningkatkan kualitas aparat hukum dan memiliki acuan kerangka hukum teknologi informasi nasional. Dalam konteks daerah, pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kebijakan sendiri secara penuh tetapi tetap mengacu ke pusat walaupun ada yang mengharapkan pembagian kebijakan yang jelas antara pusat dan daerah. Untuk menyelaraskan kebijakan teknologi informasi di pusat dan daerah ini maka kebijakan nasional harus:
Mencakup pemberdayaan masyarakat di daerah dalam bisang teknologi informasi.
Mencakup pelatihan SDM bidang TI di daerah
Mendorong tanggung jawab dan kerja sama departemen/institusi di pusat dan daerah dalam pengembangan SDM.
Kebijakan untuk meningkatkan pendidikan teknologi informasi di daerah.
2.6Peran TI Dalam Good Government
Berkaitan dengan peran teknologi informasi dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government) sebagian besar departemen/ institusi tampaknya akan memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemanfaatan teknologi informasi di sebagian besar departemen/institusi seperti pada kasus-kasus berikut :
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, teknologi informasi masih dianggap sebagai alat “pengotomasi proses” yang diharapkan dapat mengurangi proses yang dilakukan secara manual dibanding sebagai alat yang dapat mengurangi birokrasi.
Dalam konteks partisipasi semua pihak untuk penyusunan kebijakan, teknologi informasi masih dianggap sebagai alat yang mempermudah pengumpulan informasi dibanding sebagai alat yang dapat membuka komunikasi dengan pihak luar seperti publik atau instansi lain.
Dalam konteks keterbukaan (transparansi) internal, teknologi informasi masih dianggap sebagai sarana penyedia akses dibanding sebagai sareana penyediaan informasi yang lebih spesifik seperti latar belakang suatu kebijakan misalnya.
Dalam konteks pelaksanaan suatu kebijakan, teknologi informasi masih dilihat sebagai sarana untuk mempercepat pelaporan dibanding sebagai sarana untuk membantu proses monitoring.
Dalam konteks peningkatan kualitas suatu kebi akan teknologi informasi masih dilihat sebagai sarana untuk memperluas sumber informasi dan data dibanding sarana yang dapat menciptakan keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan.
Dari sisi evaluasi pemanfaatan teknologi informasi kondisinya dapat dikatakan memprihatinkan dengan masih adanya beberapa departemen/institusi yang tidak pernah melakukan audit penerapan teknologi informasi kalau pun ada sebagian besar pelaksanaannya masih bersifat ad-hoc. Jika ditelaah lebih lanjut, jenis audit penerapan teknologi informasi yang sering dilakukan lebih merupakan audit non-finansial dibanding audit finansial. Hal ini menunjukkan aspek efektifitas penerapan teknologi informasi lebih mendapatkan perhatian dibandingkan aspek efisiensinya. Selain itu, tanggapan departemen/institusi atas keterkaitan audit manajemen dengan audit teknologi informasi amat rendah, baik yang menyatakan terkait maupun yang menyatakan tidak terkait. Hal ini perlu diakui lebih lanjut karena tanggapan ini tidak mendukung kesimpulan sebelumnya, yaitu sebagian besar departemen/institusi menyatakan adanya keselarasan visi dan misi institusi dengan penerapan teknologi informasinya.
Seperti halnya pada pemahaman akan tingkat pemanfaatan teknologi informasi, “concern” sebagian besar departemen/institusi pemerintah dengan adanya kebijakan nasional lebih tertumpu pada adanya aturan tata cara akses informasi oleh pihak luar/publik dibanding pada adanya panduan bagaimana departemen/institusi harus menempatkan teknologi informasi untuk review, monitor dan evaluasi.
a.Sumber daya manusia dalam bidang teknologi informasi
Ketersediaan SDM dalam bidang teknologi informasi tampaknya menjadi kendala utama yang dihadapi oleh sebagian besar departemen/institusi pemerintah. Hal ini besar kemungkinannya berkaitan dengan pola pengembangan SDM di bidang teknologi informasi yang kurang menarik minat orang-orang yang berkualitas seperti: a) masalah dengan gaji dan fasilitas yang kurang memadai, b) program pengembangan SDM lebih berupa pelatihan internal atau seminat/workshop dibanding memberikan bea siswa misalnya, e) cakupan pekerjaan yang sebagian besar berada pada level “operator” dalam bentuk pemeliharaan data dan aplikasi atau pelatihan pada pemakai walaupun ada juga yang sampai pada level “analis” seperti perancangan aplikasi, d) tidak adanya perlakuan khusus baik dalam bentuk insentif maupun jenjang karier.
Sebagian besar departemen/institusi mengharapkan adanya kebijakan yang mengatur struktur dan jenjang karir SDM di bidang teknologi informasi dan juga kebijakan untuk pendidikan teknologi informasi berupa sertifikasi dan areditasi dalam kebijakan nasional dalam teknologi informasi.
BAB III
PENUTUP
Analisis dan Kesimpulan
Kegiatan pengembangan yang banyak dilakukan oleh departemen/institusi pemerintah adalah pengembangan perangkat lunak. Sedangkan produk lokal yang sering mereka gunakan adalah masih sebatas jasa pelatihan. Sebagian besar faktor dana sebagai penghambat utama dalam pengembangan teknologi informasi. Mereka mengharapkan dukungan strategi, prioritas dan arah kebijakan riset dan strategi pengembangan tenaga ahli dididang teknologi informasi sebagai bagian dari kebijakan nasional dibidang teknologi informasi untuk dapat meningkatkan jumlah dan mutu hasil riset di bidang mutu teknologi informasi.
Dalam melakukan evaluasi keberhasilan investasi teknologi informasi, maka departemen/institusi pemerintah menganggap kriteria yang paling penting adalah efektifitas dan kualitas dalam pelayanan, kemudian diikuti oleh produktifitas dan pelayanan organisasi serta pemanfaatan dan utilisasi teknologi informasi. Sementara faktor efisiensi dalam mengurangi biaya operasi dan penyelenggaraan korporat (organisasi perusahaan yang efektif dan baik masih belum dilihat sebagai kriteria yang paling penting untuk dievaluasi.
Departemen/institusi pemerintah perlu mendirikan suatu lembaga di tingkat nasional yang menangani teknologi informasi secara khusus. Yang berbentuk komisi independen sebatas koordinasi antar departemen dalam bentuk konsorsium.

Senin, 04 Januari 2010

tabel ASCII

DEC OCT HEX BIN Symbol
82 122 52 01010010 R
73 111 49 01001001 I
86 126 56 01010110 V
79 117 4F 01001111 O
78 116 4E 01001110 N